Genta / Bajra



Genta/Bajra sudah menjadi salah satu alat upacara penting bagi umat Hindu khususnya di Indonesia sejak dahulu sekali. Keberadaannya sudah sangat umum tampak pada setiap upacara yang dipimpin oleh seorang Pemangku (Pinandita/Pendeta) maupun oleh pendeta tinggi (Sulinggih). Disini penulis mengangkat judul ini berdasarkan beberapa tulisan yang ada di beberapa laman internet dan mencoba menyatukan beberapa hal penting yang dirasa perlu untuk saling melengkapi. 





Genta menurut legenda, diawali dari suara keroncongan sapi yang ada di pegunungan Himalaya, India. Suara keroncongan sapi tersebut diyakini mampu mengantarkan permohonan para penggembala kepada para dewa, terutama pada saat sapi sedang menggeleng-gelengkan kepalanya.

Hampir serupa dengan di India. Dikisahkan bahwa ketika Danghyang Nirarta atau Danghyang Dwijendra yang juga disebut Pedanda Sakti Wawu Rauh, mengadakan perjalanan dharmayatra keliling Bali. Beliau bertemu dengan seorang pengalu (pedagang) yang sedang menuntun kuda. Pada leher kuda tersebut dikalungkan keroncongan yang suaranya sangat merdu dan indah sekali.

Pendeta ini sangat kagum dengan suara keroncongan yang melingkar di leher kuda itu. Saking tertariknya Beliau dengan suara keroncongan kuda tersebut, lalu mencoba memintanya kepada pengalu. Sang pengalu pun merasa sangat berbahagia memenuhi permintaan pendeta itu.

Setelah menerimanya, Pedanda Sakti Wawu Rauh lalu menyucikan keroncongan tersebut. Kemana pun beliau pergi selalu dibawanya dengan tujuan untuk meningkatkan daya batin beliau dalam usahanya untuk menyatukan diri dengan para dewa.

"Keroncongan yang telah suci dan disakralkan itu kemudian dinamakan genta dan diwariskan secara turun-temurun kepada sisyanya," tutur Mangku Satra.

Secara religius, lanjutnya, Genta dipandang sebagai senjata Dewa Iswara yang berkedudukan di arah timur, dengan aksara Sang (Sa), aksara suci pertama Dasaksara.

Sebagai senjata Dewa Iswara, maka genta tersebut sangat disakralkan, dan karena itu tidak boleh dipergunakan oleh sembarang orang. Genta hanya boleh dipergunakan oleh mereka yang sudah mawinten, sudah disucikan secara niskala oleh pendeta. 

Dalam setiap upacara yadnya, tentu sering kali didengar adanya suara genta. Boleh jadi tidak banyak orang memperhatikan apa yang dapat diharapkan dari suara Genta itu. “Sebenarnya yang diutamakan dari genta sebagai pengiring pujastawa adalah getaran magis spiritualnya,” urainya.

Sebagaimana sudah dijelaskan suara Genta adalah stana Ida Sanghyang Widhi. Karena itu, bunyi Genta sebenarnya merupakan pertanda, bahwa Ida Sanghyang Widhi sedang berada di tengah-tengah umat. “Kuat lemahnya getaran magis spiritual genta tersebut tergantung dari tingkat kesucian dan kekuatan batin orang yang membunyikannya,” papar Mangku Satra.


Benda ini jika dipegang dan digunakan dengan tangan kiri (bagi Sulinggih berpaham Siwa) bernama Genta. Jika dipegang dan digunakan dengan tangan kanan (bagi Sulinggih berpaham Budha) bernama Bajra.

Banyak yang mengartikan bahwa Bajra adalah bahasa halusnya Genta. Namun, nyatanya benda ini tidak mempunyai ‘bahasa halus’ dan ‘bahasa kasar’ karena benda ini benda sakral dan suci.

Dalam Lontar Kusumadewa disebutkan saat melaksanakan tugas, pemangku patut menggunakan Genta, karena denting  suara genta sebagai perwujudan ‘bayu’, ucapan mantram sebagai perwujudan  ‘sabda’,  dan konsentrasi pikiran sebagai perwujudan ‘idep’ dari konsep ‘Tri-guna’ yaitu hakikat anugerah Ida Sanghyang Widhi Wasa kepada manusia. Anugerah itulah yang patut disyukuri dan dipersembahkan ke hadapan-Nya ketika pemangku memuja Beliau.

Dalam Lontar Prakempa disebutkan,  bahwa bunyi, suara mempunyai kaitan erat dengan panca mahabhuta yang masing-masing memiliki warna dan suara, kemudian menyebar ke seluruh penjuru bumi, dan akhirnya membentuk sebuah lingkaran yang disebut pangider bhuana.

Selanjutnya penulis  ambilkan dari laman Pasraman Ganesha Brahmacari Ashram http://www.pasramanganesha.sch.id/2016/01/riwayat-dan-fungsi-genta-dalam-ritual.html
 
Fungsi Genta
Fungsi dan peranan Genta dapat menjadi lebih jelas,  dengan menyimak arti dari Mantra Ngaskara Genta berikut ini :

Om Omkara Sadasiwa sthah
jagatnatha hitangkarah
abhiwada wadanyah
ghanta sabda prakasyate

Om Ghanta sabda maha srestah
Omkara parikirtitah
Chandra nada bhindu nadantam
spulingga Siwa tattwan ca

Om Ghantayur pujyate dewah
abhawya bhawya karmasu
wara dah labdha sadeyah
wara siddhir nih sansayam

Artinya :

Pranawa Om adalah tempat bersemayamnya Siwa
Penguasa Agung yang menciptakan alam semesta
yang menjelma menjadi alunan suara genta

Dentingan suara genta yang merupakan Pranawa Om
melambangkan ardha chandra, bindu, nada dan nadanta
Nada adalah percikan api Siwa yang juga Siwa sendiri

Bunyi suara genta hendaknya dipuja seperti siwa
karena memuja Siwa dalam mengerjakan apapun
Pahala yang akan diperoleh sangat besar
bagi mereka yang melakukannya tanpa ragu.

Arti mantra di atas menjabarkan Alunan suara genta sesungguhnya adalah tempatnya Om. OM atau AUM atau Ang Ung Mang atau Brahma Wisnu Siwa yang juga sebagai alam semesta. Jadi dalam suara genta itulah Sang Hyang Widhi bersthana. Karena itu melalui suara genta itulah umat semestinya memuja Ida Sang Hyang Widhi tanpa ragu, karena pahalanya sangat besar.

Seorang Pinandita semestinya yakin dan percaya bahwa setiap melaksanakan pujastawa dengan mempergunakan genta, Ida Sang Hyang Widhi selalu berada disampingya dan karena itu harus melakukan tugasnya tanpa ragu.

Pada bagian ketiga penulis mencoba menampilkan beberapa rincian lebih detail pada bentuk fisik dari Bajra / Genta tersebut berkaitan dengan susunannya dan keterkaitannya dengan aksara maupun cakra.

GENTA PINARA PITU : NADA BRAHMAN

Seluruh sistem agama Hindu dan Filsafat Hindu didasarkan pada ilmu tentang vibrasi yang disebut nada brahman (Donder, 2005: 74). Demikian pula halnya dengan suara genta sulinggih bisa juga disebut dengan nada brahman yang kemudian bervibrasi membentuk beraneka-ragam nada / suara yang dipakai dalam gambelan Bali.

Selanjutnya perkembangan ajaran filsafat Siwa dan Buddha dalam dimensi lima memiliki kesamaan, sehingga apabila di interpretasikan dalam bentuk empat kuku kawang dan satu lingga/pusuh cepaka akan mendapatkan formulasi sebagai berikut :



Skema Asosiatif Genta sebagai Sebuah Tanda





Gambar di atas merupakan imajiner dari pemahaman fungsi asosiasi genta. Dimulai dari sulinggih yang menyuarakan genta. Sulinggih berperan sebagai penanda atau yang memberikan tanda dalam bentuk suara genta yang kemudian di dengar oleh manusia di alam bwah loka, bhuta kala di alam bhur loka dan dewa-dewa di alam swah loka. Masing-masing kelompok yang ada pada tri loka mengasosiasikan tanda atau těngěran (bahasa Jawa Kuno) sebagai pertanda adanya upacara.

 Skema Integrasi yang Bersumber dari Asosiatif Genta


Berdasarkan upacara yang berlangsung, genta memiliki beberapa fungsi praktis diantaranya :

    1.   Fungsi sebagai alat komunikasi dan menghantarkan persembahan umat
    2.   Fungsi praktis sebagai alat konsentrasi

Apabila bentuk genta dengan aksara ongkara pranawa dibandingkan akan ditemukan adanya persesuaian bentuk dan makna. Nāda (  ) disesuaikan dengan lingga/pusuh cepaka, windu ( O ) diposisikan pada pangkal lingga yang menyatukan ke-empat kuku kawang, ardha candra (  ) disesuaikan dengan dua kuku kawang dalam posisi horizontal, sedangkan angka tiga ( O ) diposisikan sama dengan tangkai dan bogem genta, apabila hal pendekatan tersebut digambarkan akan terlihat seperti:




Gambar di bawah ini akan memudahkan pemahaman terhadap makna genta sebagai penyatuan tiga konsep arah pemujaan yang direalitakan dengan kehidupan di sebuah gunung.



Penelitian oleh para ahli terhadap bunyi, banyak menghasilkan teori-teori yang sangat membantu kehidupan manusia dalam bidang ilmu filsafat. Khususnya bidang kosmologi, lahir sebuah teori yang dikenal dentuman besar atau ledakan mahadasyat (big bang), yang sangat dibanggakan oleh dunia barat. Sebenarnya dalam kosmologi Hindu hal tersebut sudah lebih dulu diungkapkan pada zaman Weda oleh para Rsi, walaupun dengan cara pandang dan gaya bahasa yang berbeda namun prinsip-prinsip dasarnya sama, yaitu teori big bang memandang bahwa semua zat (citta dan triguna) dalam prosesnya dahulu menjadi berbentuk suatu massa yang padat, yang menyerupai sejenis atom raksasa (hiranyagarbha), kemudian massa itu meletus (mahāswara, nāda, om) membentuk bola api (Brahmā). Selanjutnya, materi ledakan lainnya yang terpencar membentuk gugusan tata surya. Sedangkan esensi, asal dari semua zat yang disebutkan dalam teori big bang belum dapat diuraikan melalui sains, hal itu hanya bisa dijelaskan melalui sudut pandang agama.

Pada Mikrokosmos, suara genta pinara pitu disamakan dengan tujuh cakra yang terdapat dalam tubuh manusia di sekitar merudanda, yang dikenal dengan sapta cakra, yang mengandung pancaran energi ke-Tuhanan. Berikut gambar posisi cakra utama yang disesuaikan dengan badan fisik :


Pada esensi puncak dari suara genta pinarah pitu merupakan penyatuan purusa-pradana yang disebut dengan prana-pramana-tiga, yaitu suara Ongkara, sapta ongkara, nawa pranawa yang kemudian digambarkan sebagai berikut :

Sumber Gambar: Granoka, 1998: 44

Pada bagian ketiga ini penulis rangkum dari tulisan pada laman https://ibgwiyana.wordpress.com/2012/04/12/kamahatmianan-genta-pinara-pitu/
Dengan maksud lebih fokus kepada penyajian Genta / Bajra itu sendiri sebagai kelengkapan alat upacara. Penjabaran tentang aksara, nada, warna dan cakra sendiri  terdapat pada tulisan buku tersendiri  bahkan tertuang dalam betuk cerita yang sangat menarik bagaimana 7 nada dalam diri manusia diperdengarkan sebagai “Katikelaning Genta Pinara Pitu”

Dapat disimpulkan bahwa sangatlah penting peran Genta / Bajra dalam sebuah upacara yang dipimpin baik oleh seorang Pinandita maupun Sulinggih berpadu dengan mantram mengalun dalam vibrasi cosmic dalam pencapaian tujuan dari pelaksanaan upacara.

Nb.

Posting Komentar untuk "Genta / Bajra"