Makna Mantram Kramaning Sembah
Sembahyang hendaknya dilakukan dengan displin diri yang disebut brata, seperti dinyatakan dalam Yajurveda XIX.35:
“Vretena diksam apnoti, diksaya apnoti daksinam, Daksinam sraddha apnoti, Sraddhaya satyam apyate”
Terjemahannya:
Dengan brata (disiplin diri) seseorang mencapai diksa (penyucian diri). Dengan diksa seseorang memperolah daksina (penghormatan), Dengan daksina seseorang memperoleh Sraddha (keyakinan yang teguh). Malalui Sraddha seseorang memperoleh Satya (kebenaran sejati)
I. SEMBAH KEHADAPAN ATMA
“Om atma tattvatma suddha mam svaha”(Om atma, atmanya kenyataan ini, sucikanlah hamba). Om adalah aksara suci Sang Hyang Widdhi; atma adalah hidupnya hidup penyebab kehidupan pada setiap makhluk, percikan terkecil Hyang Widdhi; tat adalah itu mengacu pada yang kekal atau hakikat; tva-m adalah engkau (kepada atma); suddha (suci); mam (hendaknya); svaha (demikian terjadi).
Om adalah (percikan terkecil Hyang Widdhi yang merupakan hidupnya hidup), itu hakikat-mu sucilah hendaknya demikian (pada hakikat yang sejati). Kembali pada hakikat atma yang sejati “tattvatma” merupakan roh dari sembah pertama dalam kramaning sembah ini dengan sarana mencakupkan tangan kosong atau disebut dengan sembah puyung. Mantram ini membangkitkan sang atma dari tidurnya menuju kesadaran sejati atau tat guna mencapai kesucian yang disebut suddha.
II. SEMBAH KEHADAPAN SURYA
1. Aditya Cahaya Tertinggi
Oṁ Ādityasya paraṁ jyoti, rakta-teja namo’stu te
Śveta-paṅkaja-madhyastha, Bhāskarāya namo’stu te.
Terjemahan:
Om Tuhan Yang Maha Esa, (dalam nama dan rupa) Aditya cahaya tertinggi, yang bersinar merah, kami memuja-Mu, Engkau yang bersthana di tengah-tengah teratai putih, hormat kepada-Mu Bhaskara pencipta sinar berkilauan.
Mantram kramaning sembah yang kedua dengan ista dewata Surya putra Aditi dan Kasyapa dalam purana dilukiskan bercahaya merah dengan tempat duduk singgasana teratai berwarna putih. Ia adalah paraṁ jyoti (cahaya tertinggi), dan juga Bhaskara (pemilik, pencipta cahaya).
2. Bhaskara “Sang Penghacur Klesa”
Oṁ praṇāmya bhaṣkara devaṁ,
sarva kleśa vinaśanaṁ,
praṇāmyāditya śivārthaṁ,
bhukti mukti varapradaṁ.
Terjemahan:
Oṁ sujud bhakti kepada Dewa Bhāskara, melenyapkan segala klesa, penderitaan, sujud kepada āditya sesungguhnya Śiwa, pemberi anugrah kebahagiaan jasmani rohani/lahir bathin.
III. SEMBAH KEHADAPAN ARDHANARESWARI
“Om nama deva adhisthanāya,Artinya :
Sarva vyāpi vai śivāya,
Padmasāna ekapratisthāya,
Ardhanareśvaryai namo’namah.”
Om kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi,
kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana-mana,
kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat,
kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.
Sembah dengan kwangen yang hakikatnya Om kara menuntun kita untuk memahami bahwa Tuhan yang adalah OM berada pada tempat utama (adhisthanāya); tempat tertinggi dan sangat mulia. Yang sangat sulit dipahami karena mengatasi pikiran, berada dimana-mana (Sarva vyāpi) dan hakikatnya adalah Shiva yang suci. Dalam beberapa uraian Siwa Tattwa juga kita dapati ajaran yang menyatakan Tuhan bersifat Imanen dan transenden. Imanen artinya hadir dimana-mana, transenden artinya mengatasi pikiran dan indriya manusia. Berikut kutipan slokanya:
Sivas sarwagata suksmahArtinya:
Bhutanam antariksavat
Acintya mahagrhyante
Na indriyam parigrhyante
Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan, Ia seperti angkasa, tak terjangkau pikiran dan indriya.
Tuhan dalam ajaran Siwa Tattwa adalah Bhatara Siwa yang secara umum disebut Sang Hyang Widdhi Wasa bersifat gaib bagaikan angkasa. Angkasa adalah yang paling halus diantara lima elemen dasar pembentuk semesta. Akasa berasal dari sabda tan matra atau benih suara. Berbagai pustaka Hindu misalnya Samhkya menjelaskan bahwa suara Om merupakan suara abadi, sehingga OM inilah yang merupakan sumber dari segalanya. OM yang adalah suci (Shiva) berada dimana-mana, karena hakikatnya seluruh alam semesta ini adalah wujud dari OM (akasa, bayu, teja, apah, pertiwi).
IV. SEMBAH HYANG WIDHI SEBAGAI PEMBERI ANUGRAH
Om anugraha manohara,Terjemahan:
devadattanugrahaka,
arcanam sarvapujanam
namah sarvanugrahaka.
Om, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah, anugerah pemberian dewa, pujaan semua pujaan, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah.
Manohara artinya menarik, memikat, cantik, mempesona; anugraha berarti anugrah, pendampingan, kebaikan, cinta kasih, menunjukkan bantuan. Jadi anugraha manohara maksudnya adalah segala anugrah, kebaikan, bantuan yang menarik, memikat, cantik, mempesona. Hal inilah dambaan dari setiap bhakta, agar hidupnya penuh kebaikan, cinta kasih, dan segala bantuan atas kesulitan yang dihadapinya dalam mengarungi kehidupan.
Devadattānugrahaka berarti anugrah dewata, dimana Tuhan bermanifestasi menjadi Ista Dewata dalam memberikan anugrah. Dalam Weda kita dapati berbagai Ista Dewata dengan anugrahnya masing-masing sesuai dengan perkembangan jaman. Seperti Indra dikenal sebagai Dewa hujan, yang memang sangat diperlukan dalam masyarakat agraris. Disatu sisi orang –orang arya memuja Indra sebagai Dewa perang karena mereka memerlukan kemenangan saat berperang untuk menaklukan suku suku lainya.
Arcanam sarvapūjanam berarti yang dipuja dengan semua atau segala pujian. Maksudnya Tuhan dipuja dengan berbagai nama, perwujudan, sesuai fungsi masing-masing. Namun hakikatnya semua pujian itu adalah kepada Tuhan Yang Esa. Oleh karena itu Ista Dewata hendaknya dipahami dalam bingkai Rg Veda I.164.46 "ekam sat vipra bahudha vedanty agnim yamam matarisvanam ahuh". Artinya Satu itu (Tuhan), namun sang bijaksana seperti halnya para maharsi yang menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan.
Bait kedua dalam mantra penugrahan atau permohonan anugrah, memuja kebesaran Tuhan sebagai Dewa-Dewi yang Maha Siddhi. Dari kemahasiddhian inilah berbagai anugrah diperoleh oleh para pemujanya.
Deva devi mahāsiddhi,
yajñānga nirmalātmaka
laksmī siddhisca dīrghāyuh,
nirvighna sukha vŗddhisca.”
Artinya :
Kemahasidian (kemahasempurnaan) Dewa dan Dewi, berwujud yadnya, pribadi yang suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan.
Dewa dan Dewi adalah berasal dari akar kata dev yang artinya sinar, dewa adalah sinar yang dihubungkan dengan aspek maskulin sedangkan dewi berhubungan dengan aspek feminim. Misalnya Dewa Brahma berpasangan dengan Dewi Saraswati; Dewa Wisnu berpasangan dengan Dewi Sri; Dewa Siwa berpasangan dengan Dewi Durga, dan seterusnya.
Kemahasiddhian nampak selalu berhubungan dengan pasangan maskulin dan feminim, seperti yang tertuang dalam Samkhya maupun Yoga bahwa penciptaan hanya mungkin terjadi karena adanya Purusha dan Prakerti.
Logika berfikir sederhananya adalah tak akan mungkin ada penciptaan (Brahma) tanpa adanya pengetahuan (Saraswati), karena itu konsep penciptaan selalu berawal dari pengetahuan.
V. SEMBAH HYANG WIDHI SEBAGAI YANG MAHA ACINTYA
Secara umum sembah puyung yang terakhir dalam kramaning sembah sering diterjemahkan sebagai ucapan terimakasih atau matur suksma, mengingat dalam bahasa Bali artinya menghaturkan terimakasih. Setelah permohonan anugrah ditutup dengan ucapan terimakasih atas segala anugrah, demikianlah sebagian umat memahami sembah puyung yang terakhir ini. Persepsi yang demikian terasa kurang pas dengan arti dan makna dari mantra:
Om, deva sūkṣma paramācintyāya nama svāhā.
Artinya :
Om Hyang Widhi, hormat pada Dewa yang maha gaib, yang maha tinggi, yang tak terpikirkan. (Om= Hyang Widdhi; dewa=sinar suci; sūkṣma = halus, gaib; parama=tertinggi; acintya=tak terpikirkan; nama= dipanggil, dipuja; swaha=hormat, semoga terjadi demikian).
Untuk mengupas sembah Puyung diperlukan analisis yang mendalam terhadap naskah-naskah Tattwa yang relevan dalam edisi artikel berikutnya.
I Gede Adnyana
Penyuluh Agama Hindu Kementerian Agama Kota Bontang
Posting Komentar untuk "Makna Mantram Kramaning Sembah"
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar, kritik maupun saran berkaitan dengan artikel diatas secara positif. Umat dapat berpartisipasi mengirimkan artikel melalui admin untuk melalui tahap moderasi sebelum tayang. Terima kasih atas partisipasi anda.