16 ABAD SHIWAISME DI INDONESIA
A. MULA SHIWA DI KUTAI
Emile Durkheim dalam pandanganya terhadap perkembangan sosiologi khususnya sosiologi agama dalam karyanya The Elementary Forms of The Religious Life mengemukakan bahwa gama lokal (primitif) cenderung bertahan. Alasannya adalah bahwa orang tidak akan menjatuhkan sumber Ketuhananya sendiri atau sumber kehidupan masyarakatnya. Durkheim tidak mendorong perubahan secara revolusi, tetapi mencari cara untuk meningkatkan fungsi dan peran masyarakat (Syahwaludin, 2017:15).
Peninggalan zaman Prasejarah di Indonesia ditemukan sejumaah bangunan megalitik yang tersebar secara luas antara lain: menhir, dolmen, arca batu dan lain-lainya, bakan diantaranya masih berfungsi sakral (Hoop, 1932; Heekeren, 1958; Sutaba, 2014: 2). Rivers berpendapat bahwa ada jalinan antara budaya Indonesia dengan Melanesia, dan Polinesia, oleh karena Indonesia memiliki kedudukan strategis dalam menghubungkan kawasan barat ke kawasan Pasifik, yang merupakan pendiri bangunan megalitik penyembah Surya (Perry, 1918; Sutaba, 2014: 3).
Menhir atau tiang batu merupakan salah satu peninggalan yang menandai adanya aktifitas dari tardisi megalitik tua yang berupa menhir, dolmen, tahta batu yang diperkirakan sampai di Indonesia pada masa bercocok tanam antara 2500-1500 SM. Sedangkan tradisi megalitik muda menghasilkan berupa sarkofagus, kubur batu, arca nenek moyang berkambang masa perundagian (Sujono: 1984; Sutaba, 2014:4).
Dari sini dapat diprediksi bahwa Yupa nampaknya telah ada sebelum kedatangan orang-orang India Selatan yang kemudian mempengaruhi kebudayaan Kutai di abad ke-4 M. Meskipun patut diduga bahwa perkembangan Hindu di Kutai bisa jadi jauh sebelum itu, dan baru mencapai puncaknya pada abad ke-4 s.d. 5 M. H. Gunadi Kasnowihardjo dalam artikel jurnal dengan judul Kutai, Tonggak Sejarah Nasional Indonesia mengungkapkan bahwa bukti tertulis berupa prasasti baru dikenal pada masa Raja Mulawarman (abad IV-V M), maka sejak itulah dikenal awal dari masa sejarah bangsa Indonesia (Kasnowihardjo, 2006:21).
Adanya 7 yupa bertulis huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta menunjukan adanya pengaruh India Selatan. Yupa niraksara atau lesung batu, atau yang dikenal dengan Yupa setengah jadi yang hingga kini masih dihormati menunjukan bahwa sebelum adanya tulisan Yupa (menhir) telah menjadi bagian aktifitas sakral masyarakat pendukungnya. Prasasti Yupa merujuk pada temuan 7 yupa yang berisi Tulisan yang memuat keterangan tentang Raja Mulawarman yang mengadakan korban suci di Vaprakesvara, lapangan suci tempat pemujaan Shiwa.
Dalam majalah Naditira Widya Vol.2 No.2/2008 dengan judul: "Warisan Mulawarman; Makna dan kebijakan Strategis disebutkan adanya bukti-bukti peninggaln yang memperkuat dugaan masuknya ajaran Hindu Shiwa di Kutai, antara lain:
a) Desa Muara kaman Ulu berupa: Yupa, prasasti Yupa, batu tegak dan batu persegi empat, sumur, keramik asing dan tembikar, arca Dewi;
b) Temuan di Kota Bangun Ulu berupa Fragmen arca Nandi, arca Buddha, pending emas;
c) Desa Rajak berupa mata uang kepeng dan manik-manik yang ditemukan secara sporadis di area bukit;
d) Desa Lebak mantan Kecamatan Muara Wis berupa arca Gandhasari atau Gandawangi bercorak Budha;
e) Desa Tering Lama Kutai Barat ditemukan berupa tumpukan batu-batu monolit, terdapat pula batu yang diperkirakan sebagai Yupa yang belum selesai;
f) Desa Batu Majang ditemukan: arca Nandi dan sisa-sisa struktur, arca Avalokitesvara bercorak Budha.
g) Desa Kongbeng berupa: Arca Mahadewa (Siwa), Guru (agastya), Ganesa, Karto Luya (Karttikeya), Mahakala, Nandisvara, Nandi, Kepala arca Brahma, dan arca pantheon Buddha yang diidetifikasi sebagai Vajrapani (Riwut 1993; Kusmartono. 2008: 163-170).
B. EMPU KANWA MENGENANG SHIWA
Arjuna Wiwaha merupakan naskah kakawin Jawa Kuno periode Jawa Timur. Karya Empu Kanwa ini diperkirakan disusun sekitar tahun 1030 M. Kakawin ini merupakan karya sejaman dengan masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 M.
Arjuna Wiwaha merupakan perkawinan tokoh Arjuna dalam epos Mahabharata yang diduga mengandung ajaran bercorak Shiwa Hal ini diperkuat dengan adanya kalimat Shiwa smrti dalam Arjuna Wiwaha, I:5 sebagai berikut:
Wyarthekang japa-mantra yan kasalimur dening rajah mwang tamah
Nghing yan langgêng ikang Shiwa smrti datêng srêddha bhatareswara
Terjemahan:
Tidak ada manfaatnya merapal japa-mantra jika orang masih dikuasai oleh ego dan perasaan malas. tetapi jika ia teguh merenungkan Shiwa, datanglah anugerah Tuhan kepadanya’.
Shiwa smrti yang artinya: ingatan; kenangan; tradisi yang berwenang atau memiliki kewenangan, pengetahuan yang memiliki otoritas guna mendekati Siwa, yang merupakan entitas tertinggi dalam Siwa Tattwa, dengan tiga jenjang kesadaran (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa).
Atau dengan kata lain Shiwa smrti adalah ilmu pengetahuan tentang Shiwa; untuk mengetahui, memahami, mengamalkan dan menikmati hakikat Shiwa, yang merupakan entitas tertinggi dalam Siwa Tattwa, dengan tiga jenjang kesadaran (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa). Oleh karena Siwa smerti tidak luput dari ruang lingkup ajaran Hindu di Indonesia yaitu Siwa Siddhanta, diperlukan juga uraian tantang konsep Siwa Siddanta.
Dari abad ke-4 s.d. abad ke-11 atau kurang lebih 700 tahun atau 7 abad lamanya ajaran Shiwa masih menjadi ajaran yang paling pokok yang ternyata tidak mudah hilang meskipun Buddha juga telah masuk sejak awal abad masehi di Kutai.
Pada era Erlangga ini pula Empu Kuturan Menyatukan sedikitnya menurut Goris ada sembilan aliran yang ada di Bali. Penyatuan sembailan aliran ini menjadi paham Tri Murti dapat dilakukan oleh karena semuanya bisa lebur kedalam Hindu Shiwa yang kemudian dikenal dengan Shiwa Siddhanta. Yang mana pujian Tri Murti dalam Shiwa Siddhanta adalah Brahma Wisnu Iswara dan Bhatara Shiwa menjadi Tuhan tertinggi, dimana semua ista Dewata hakikatnya perwujudan dari Sadha Shiwa.
C. SHIWAISME KINI
Hampir seluruh pujian Mantra kesulinggihan di Bali bercorak Shiwa menjadi sangat populer dikalangan pendeta Hindu di Bali. Aneka Mantra kesulingihan ini kemudian telah disusun oleh Hoykas dalam buku Stuti & Stava.
Pemujaan Shiva dalam agama Hindu di Indonesia kita dapati dalam berbagai teks, baik lontar tattwa seperti Buana Kosa, Wrhaspatti tattwa, Tattwa Janana dan sebagainya; maupun dalam lontar puja yang kemudian terhimpun dalam buku stuti & stawa. Mengingat teks yang ada sebagian besar bercorak Siwa dengan menyebutkan Bhatara Siwa sebagai entitas tertinggi maka ajaran Hindu di Indonesia disimpulkan sebagai Siwa Siddhanta yang merujuk pada kalimat dalam prasasti Goa Gajah.
Menurut Prof. Dr I Wayan Sukayasa, M.Si, guru besar pasca sarjana Universitas Hindu Indonesia dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar dengan judul: TEOLOGI HINDU NUSANTARA [JAWA KUNA- BALI]; bahwa Hindu di Indonesia (Bali) dengan ajaran Siwa tattwanya memiliki hubungan erat dengan Siwa Purana di India.
Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa ajaran Siwa yang berkembang di indonesia termasuk mantram yang digunakan memiliki kesamaan yaitu bercorak Siwa.
Misalnya dalam mantram pemujaan Surya dikatakan bahwa Surya hakikatnya adalah Siwa (Siwa Raditya); pemujaan kepada Tri Murti dengan menyebutkan Tri Murti sebagai Brahma Wisnu Iswara yang diakhiri dengan Om Namashivaya yang menyatakan bahwa Tri Murti hakikatnya adalah Shiwa. Demikian pula Agni didalam naskah Agastya Parwa dikatakan sebagai Sang Hyang Siwa Gni.
Dalam mantram pertiwi pun dikatakan bahwa Ibu Pertiwi memeiliki sebutan Siwa Bumi. Dengan demikian secara keseluruhan semua ista Dewata didalam teks lontar di Indonesia bercorak Siwa. Uraian tentang penggunaan Pañcãksaram (Om Namashivaya) juga terdapat dalam teks puja di Indonesia, yang menunjukan bahwa mantram ini juga telah menyatu dengan masyarakat Indonesia. Mantra ini sangat diagungkan dan dipandang sebagai mantra pujian tertinggi kepada Parabrahman:
OM Pancaksaram para-brahman,
pawitram pàpa-nasanam
mantrãntam parama-jñànam,
Shiva-loka-pradam subham.
Terjemahan:
Mantra lima suku ata adalah sang Brahman Tertinggi,
suatu alat-pembersih dan penghancur kejahatan;
keseluruhan jumlah mantra-mantra itu, kebijaksanaan tertinggi,
ia adalah magis / menguntungkan dan memberikan duniaNya sang Shiwa.
D. SIMPULAN & SARAN
Sampai dengan hari ini kita paham bahwa sesuatu yang baik cenderung bertahan dan yang buruk akan ditinggalkan oleh masyarakat seperti pandangan IB. Putu Swamba dalam sebuah webinar membedah buku Pasu Yajnya.
Perjalanan Shiwasme 16 abad dari abad ke-4 M s.d. abad ke-21 bukanlah sebentar. Pengikut setia ajaran ini telah menyelamatkan agama kuno yang hingga kini masih bertahan. Tentu saja kita patut berbangga dan berupaya menjaga ajaran ini dengan mempelajari kembali butir-butir ke-Shiwa-an yang tercecer dalam tradisi Nusantara.
Om Namashiwaya.
Posting Komentar untuk "16 ABAD SHIWAISME DI INDONESIA "
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar, kritik maupun saran berkaitan dengan artikel diatas secara positif. Umat dapat berpartisipasi mengirimkan artikel melalui admin untuk melalui tahap moderasi sebelum tayang. Terima kasih atas partisipasi anda.